Ini hanya sebuah
catatan keluh kesah tentang pelayanan sebuah kantor pemerintah. Ini cerita tentang
pengalaman buruk saya berkoordinasi dengan mereka yang memiliki nomor induk
pegawai, NIP.
Dalam beberapa bulan
terakhir di tahun 2013, saya sering berkunjung ke Teminabuan; ibukota Sorong
Selatan. Ada dua agenda yang harus saya kerjakan di sana yakni berkoordinasi
dengan masyarakat dampingan dan dinas pemerintahan yang terkait dengan program
kerja kami bersama masyarakat tentunya. Satu hal yang sangat krusial yang kami
harus urus di satu kantor dinas pemerintahan setempat adalah ‘surat sakti’ yang
dikenal dengan surat rekomendasi. Itupun bukan surat terakhir yang harus kami
perjuangkan. Ini hanyalah sebuah surat yang bisa dikatakan permulaan.
Begitu intensnya
kunjungan saya ke kantor tesebut sampai-sampai saya bisa menghafal suara para staf yang jumlahnya belasan orang
itu (meski faktanya di absen dinas, mereka sebenarnya berjumlah lebih dari 30
orang). Mereka sangat berisik terutama saat tidak ada ‘kelapa’ dinas.. OOPS,
maksud saya ‘kepala dinas’. Beda halnya dengan saat kepala dinas di tempat,
SUNYIIIIIIIIIIIIIIII senyap kayak di kuburan.
Salah satu pemandangan menarik ketika pada
suatu masa, saya datang sekitar pukul 10.00 pagi. Saya duduk di depan teras
karena orang yang saya cari belum datang dan hanya ada beberapa orang saja.
Satu persatu staf baru mulai berdatangan beberapa saat kemudian ternyata. Mereka
rupanya doyan terlambat . Parahnya lagi yang terlambat adalah adalah para Kabid
dan termasuk juga kepala dinasnya. Maklumlah mereka sibuk bekerja jadi bangun
kesiangan. Capek!
Satu hari saya
sedang duduk di lorong kantor dinas. Menunggu giliran untuk bertemu si kepala
dinas. Seorang staflaki – laki berpakaian seragam berwarna hijau tua lalu
lalang. Ia keluar masuk ruangan dengan wajah garang. Wajahnya sangat ‘tebal’.
Para ibu – ibu yang berada diruang administrasi tepat di depan lorong dimana
saya berada. Mereka hanya duduk manis sambil goyang-goyang pena, ada juga yang
hanya membalik-balik lembar kertas entah apa maksudnya atau apa yang dibuat
selama berjam-jama. Sekali-kali mereka berbisik sambil melirik sana - sini.
Tiba-tiba, si bapak yang bermuka garang itu masuk ruangan administrasi dan
murka. Ditariknya mesin sidik jari yang merreka gunakan sebagai mesin pencatat
kehadiran staff sambil berteriak, “Kam
yang kerja di data base ini kerja yang betul, sa ini rajin masuk kerja kenapa
yang pamalas masuk dapat uang baru sa ini tra dapat sepeser pun? Barang ini sa
tra pake”. Si bapak ini pun berlalu
keruang sebelah sambil membawa mesin sidik jari dan melemparkannya kedalam
lemari. Rupanya si bapak marah karena tidak mendapatkan uang insentif kehadiran
yang rupanya bagi PNS berjumlah 20 ribu per satu hari kerja.
Lain lagi dengan
urusan dengan si kepala dinas. Waktu itu, saya masuk ke ruangan kerjanya untuk
berkoordinasi dan menyampaikan maksud kedatangan saya. Setelah menyampaikan
keperluan saya, Kepala dinas langsung memanggil beberapa stafnya. Sekitar tiga
(3) orang staf yang dilibatkan dan mulailah kepala dinas meminta pendapat
mereka sambil sesekali memberi petunjuk. Parahnya lagi ketika si kepala dinas
meminta berkas-berkas yang diperlukan seperti undang-undang terkait dinas yang
bersangkutan, taksatupun dari mereka yang memiliki berkas-berkas tersebut. Pak
Kepala dinas pun akhirnya malah menyuruh mereka mencarinya ke internet.Akhirnya
…. Ngacirlah salah satu staf ke SKPD di sebelah dinas yang bersangkutan. Hari
gini kantor dinas gak punya internet? Eh kejadian seperti ini sudah 3 kali
terjadi loh selama saya berkunjung :D
Sekali pula,
saya datang pagi-pagi. Waktu itu saya sudah tahu akan bertemu siapa karena
kepala dinas sudah menunjuk seorang kepala bidang untuk mengurus semua yang
saya butuhkan. Entah mengapa saya dicuekin oleh si kepala bidang a.k.a. ‘kabid’
yang datangnya suka terlambat. Apakah karena saya datang terlalu cepat? Entahlah
yang jelas waktu itu saya telah menunggu 30 menit diluar ruangan, saya
menanyakan lagi kepada rekan kerjanya agar saya dipertemukan dengan si kabid. “Sabar ya, lagi banyak kerjaan,” jawabnya
singkat! Saya langsung keluar ruangan dan sengaja mendekat ke jendela dekat
meja sang Kabid. Ternyata sang kabid sedang duduk manis sambil pencet-pencet
HP. Ternyata SMS juga merupakan kerjaan yang tidak bisa diganggu gugat.
Ada lagi nih
yang menarik di dinas tersebut. Setiap saya berkunjung, ada banyak kunjungan yang bersamaan. Rupanya
dinas ini cukup laris. Mereka umumnya pengusaha. Dari tingkat “teri” hingga
tingkat “hiu”. Tapi yang, pengunjung terbanyak adalah dari kelas ‘teri’. Pelayanan SKPD ini pun
disesuaikan dengan ukuran ‘pengunjung’; “TERI” atau “HIU”. Jangan salah!II Saat
tingkat ‘Hiu’ datang, Semua berlaku sopan dan pelayanan sangat cepat. Tak perlu
berlama-lama. Beda halnya dengan kelas teri, sampai-sampai staf kelas bawahan
pun yang akan melayani mereka.
Pengalaman saya
hari ini beda lagi (25/10/13). Pemandangannya beda sekali. Para bapak
berseragam hijau tua di kantor itu sibuk. Salah seorang staf dari rombongan
bapak ini sibuk menelpon koleganya. Rupanya setelah apel pagi bersama bupati,mereka
mendapat teguran terkait dengan eksploitasi sumberdaya alam di Sorong Selatan.
Saya sempat nguping si bapak menelpon
dengan nada pelan “KAMU BUANG BARANG TU KE HUTAN DULU EEE, SECEPATNYA. INI
BUPATI ADA MARAH DAN PERINTAHKAN UNTUK PERIKSA DAN SITA JADI. BAGUSNYA
DISEMBUNYIKAN DI HUTAN DULU SUPAYA TRA DAPAT SITA BANYAK. OK … KALO SUDAH NANTI
TELPON SAYA BALIK.” Tut-tut-tut ….. panggilan pun berakhir dan si bapak masuk
ruangan sambil usap-usap kepala. ‘Sesuatu’ banget kan?
Begitulah
pengalaman saya selama beberapa bulan terakhir mengurus ‘surat cinta’ di kantor
kepala dinas alias SKPD tertentu. Sebuah surat sepanggal yang hingga hari ini belum saya dapatkan. Sangat alot dan
rasanya seperti membuat surat dengan tinta emas. Semoga saja kedepan, tidak
harus berbulan-bulan untuk mengurus selembar surat di dinas Pemerintah. Entahlah
…. atau jangan-jangan karena saya tidak bawa amplop? Jangan donk beliau-beliau! Apakalian tidak
takut KPK? Ah … semoga saja di dunia ini
tidak banyak dinas pemerintahan yang terlalu pelik dan alot dalam mengerjakan
sebuah ‘surat cinta’ alias “surat sakti”.
Hmmm memang beda kabupaten beda pula perilaku org2 di SKPD tertentu...
BalasHapusSemangat yah,, memang kita hrus SABAR MENANTI (warung Sp 2 MKW) bagusnya aku urus surat Rek,,, cuma 2 hari ehhh via telp suratnya uda bs di ambil,, simple bangetkan... Sukses ya kaka.
@Theresia Padwa memang bijak dalam hal ini :)
Hapussaya rasa pengurusan SIM lebih gampang karena dalam beberapa jam saja kita bisa dapat SIM tanpa tes :D
Terus terang, saya sangat suka membaca tulisan tsb, "Menanti Surat Cinta". Gaya penulisannya mengalir, akrab, dan dialogis. Saya berharap, cerita2 dari kampung bisa terus ditulis dan dishare kpd saya dan teman2 dg genre penulisan tersebut. Tidak semua orang bisa menulis dg gaya itu. Apalagi di kalangan aktifis, tulisan2 mereka umumnya mengerucut pada tiga gaya utama: Pelaporan - investigasi, pemberitaan, dan laporan kerja. Singkat kata, "Menanti Surat Cinta", lahir dari kepekaan perasaan dan ketajaman pikiran ade Monches...
BalasHapuskk amos,,,tulisannya mantap,,,hehehehehe,,
BalasHapusbagaimana maw cepat urusan suratnya,,,pegawainya saja tidak disiplin,,jangan2 mereka lupa tempat simpan suratnya bang (tapok jidat),,urus surat aja trabisa gmana urus masyarakatnya,,,tetap semangat kk,,,,
@amelius Mansawan : Terima kasih. semoga nanti dong lebih disiplin
BalasHapus@Zwagery : mungkin lebit tepatnya menulis dalam keadaan "emosi" :)
BalasHapus