Jumat, 20 Desember 2013

Lain Kolam, Lain Cara Mandinya



“Bila ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Bila ada umur panjang, bolehlah kita berjumpa lagi.” (Anonim)

“Lain lubuk, lain ikannya.” (Anonim)

Pernah mendengar perumpamaan - perumpamaan di atas? Well, saya dan teman - teman di Bentara Papua selama proses dokumentasi di kampung Sira benar - benar mengalami perumpaan itu dalam arti harafiah alias urusan mandi di kolam ataupun sumur punya karakter mandi yang berbeda apalagi kalau sudah nyangkut di urusan privasi dan kepemilikan. Itu benar - benar perkara gabungan seperti isi roti sandwich yang harus dipikirkan dengan baik. 
Melki bersiap mandi

Selasa, 10 Desember 2013

Mimpi Menjadi Boaz (Persipura)

Boaz Sallosa atau yang akrab dipanggil Boci adalah salah satu ikon sepakbola Tanah Papua saat ini, begitu pula klub yang dibelanya: Persipura. Berawal dari kemenangan Persipura pada ISL 2013 dan telah memiliki gelar bintang  4(****), selanjutnya juga kemenangan persipura (2:1) atas Santoz yang adalah salah satu klub sepak bola dari Brasil; sebagaimana diketahui bahwa saat ini Brazil tengah mempersiapkan diri untuk tuan rumah Piala Dunia 2014.  Kemenangan - kemenangan ini memberikan sebuah kebanggaan bagi banyak orang dan lebihnya menyebabkan banyak fans kepada pemain terbaik ISL 2013 ini dan juga klubnya.

Kekaguman pada Boaz dan Persipura rupanya melekat erat untuk anak – anak kampung Sira di kabupaten Sorong Selatan; lokasi pendampingan Bentara Papua. Seorang bocah berumur 10 tahun yang bernama Marlon Kladit atau akrab dipanggil Manu beserta teman-temannya saking terlalu fans sama persipura, usai menonton dan menyaksikan kemenangan persipura atas FC Santoz dari Brazil, keesokan harinya mereka mengambil bola dan bermain di pinggir rumah tempat tim kami tinggal. Ya apa boleh buat karena tidak ada lapang sehingga mereka harus bermain pada halaman rumah yang ditumbuhi pepohonan dan terlihat sangat sempit dengan pinggiran jurang yang menganga.

Senin, 25 November 2013

Panen Kangkung di Kampung Sira


Senja petang ini begitu memikau. Memang, senja dalam beberapa waktu terakhir di Kampung Sira selalu memikau. Warna keemasaanya memancar dari ufuk barat mengiringi langkah saya dan Melki menuju posko tempat tinggal kami di Kampung ini. Masing-masing kami  menenteng sebuah kantong plastic berukuran besar berisi kangkung. Langit yang cerah karena baru saja usai hujan menambah suasana soreh lebih berwarna dan hati kami pun sangat berwarna melangkah menuju rumah meski jalan menanjak, kami begitu bersemangat berkat tentengan kantong plastik kami yang penuh sesak .

Rabu, 06 November 2013

Dua Enampuluh Kain untuk Harga Mas kawin Seorang Gadis



Sore ini (28/09/13; pukul 3 sore), saya bersama Melki; seorang rekan kerja, berkesempatan untuk menyaksikan betapa berharganya seorang perempuan. Banyak hal yang dapat dilakukan orang untuk menunjukkan “harga” seorang perempuan, salah satunya yang dikenal seantero daratan Papua adalah Mas Kawin. Tidak hanya di Papua, di berbagai suku dan bangsa lainnya perkara mas kawin sudah mendarah daging sejak nenek moyang. Itulah yang kami saksikan soreh hari ini. Pembayaran mas kawin dari keluarga seorang laki-laki kepada keluarga seorang perempuan. Pembayaran mas kawin berdasarkan kebiasaan suku Kna di linggkungan adat Seremuk, kabupaten Sorong Selatan.
Adalah Kampung Kwowok di daerah distrik Saifi, kampung dimana berlangsungnya pembayaran mas kawin ini berlangsung. Kerumunan warga di halaman sebuah rumah panggung yang terbuat dari papan kayu tampak di di ujung kampung. Mereka sedang menghimpun “harta” sebagai maskawin. Harta tersebut berupa kain. Beberapa  jenis kain dilipat rapi kemudian disusun di depan halaman rumah dan dihitung jumlah dan jenisnya. Jenis kain didominasi oleh kain tenun yang berasal dari Batak maupun Timor.

Kamis, 31 Oktober 2013

Menanti "Surat Cinta"

Menanti 'Surat Cinta di (Kantor) 'Kelapa' Dinas
Ini hanya sebuah catatan keluh kesah tentang pelayanan sebuah kantor pemerintah. Ini cerita tentang pengalaman buruk saya berkoordinasi dengan mereka yang memiliki nomor induk pegawai, NIP.
Dalam beberapa bulan terakhir di tahun 2013, saya sering berkunjung ke Teminabuan; ibukota Sorong Selatan. Ada dua agenda yang harus saya kerjakan di sana yakni berkoordinasi dengan masyarakat dampingan dan dinas pemerintahan yang terkait dengan program kerja kami bersama masyarakat tentunya. Satu hal yang sangat krusial yang kami harus urus di satu kantor dinas pemerintahan setempat adalah ‘surat sakti’ yang dikenal dengan surat rekomendasi. Itupun bukan surat terakhir yang harus kami perjuangkan. Ini hanyalah sebuah surat yang bisa dikatakan permulaan.
Begitu intensnya kunjungan saya ke kantor tesebut sampai-sampai saya bisa menghafal  suara para staf yang jumlahnya belasan orang itu (meski faktanya di absen dinas, mereka sebenarnya berjumlah lebih dari 30 orang). Mereka sangat berisik terutama saat tidak ada ‘kelapa’ dinas.. OOPS, maksud saya ‘kepala dinas’. Beda halnya dengan saat kepala dinas di tempat, SUNYIIIIIIIIIIIIIIII senyap kayak di kuburan.
 Salah satu pemandangan menarik ketika pada suatu masa, saya datang sekitar pukul 10.00 pagi. Saya duduk di depan teras karena orang yang saya cari belum datang dan hanya ada beberapa orang saja. Satu persatu staf baru mulai berdatangan beberapa saat kemudian ternyata. Mereka rupanya doyan terlambat . Parahnya lagi yang terlambat adalah adalah para Kabid dan termasuk juga kepala dinasnya. Maklumlah mereka sibuk bekerja jadi bangun kesiangan. Capek!

Kamis, 24 Oktober 2013

Universitas Kehidupan

Blog ditulis oleh Rini Irmaya Sari

Mengerjakan pekerjaan yang disukai belum tentu tanpa halangan dan hambatan. Dalam perjalanan hidup saya yang sudah 30 tahun menetap di planet ini, saya belajarbanyak bahwa melakukan pekerjaan yang saya suka itu bikin hidup terasa lebih hidup dan juga ada banyak pelajaran penting yang membuat saya bertumbuh secara manusia. Saya belajar banyak hal dan juga semakin bersyukur atas hidup saya.

Pekerjaan dokumentasi yang akan genap sebulan esok hari di sebuah kampung di daerah Sorong Selatan ini membuat energi saya tercurah padanya. Belajar tinggal dikampung, bersinergi dengan kehidupan yang minim fasilitas dan segala macamakese yang membuat hidup terasa nyaman membuat saya belajar bahwa selama inisaya hidup dalam kenyamanan fasilitas yang saya beli, bayar dan disediakan olehorang tua saya. Saya berkaca dalam hidup saya dan berkata bahwa “inilahuniversitas kehidupan yang sesungguhnya”. Ya, saya belajar banyak bagaimanamanusia bertahan hidup, mengalami pergesekan budaya dari luar, bagaimana dinamika sosial terbentuk dan hal lainnya. Saya belajar banyak hal yang tidaksaya dapatkan dari bangku perkuliahan saya.


Setiap perjalanan dan pekerjaan serta perjumpaan di kampung dengan berbagai macamkarakter termasuk karakter anggota tim membuat saya tersadar bahwa kisi - kisihidup manusia tidak bisa ditebak. Saya belajar bahwa si X suka sesuatu sepertiini, si Y suka sesuatu seperti itu dan saya suka sesuatu yang lain. Saya belajar banyak bahwa kompromi, terkadang curhat diam - diam, berdoa pada Tuhanataupun ‘tahan - tahan hati’ serta mengutarakan maksud secara gamblang adalah upaya - upaya yang bisa saya lakukan untuk bertahan dalam dinamika ini. Kadangsaya harus egois, kadang saya harus mengalah dan kadang juga saya berada padadaerah abu - abu. Well, saya manusia yang pada ke sekian kalinya tersadar bahwasaya lemah dan punya keterbatasan.

Saya belajardalam pekerjaan ini untuk meletakkan impian saya dalam status realita yang terpasung dalam norma - norma adat dan tatanan sosial yang membungkus kehidupanindividu - individu yang menjalin sebuah struktur sosial yang lebih kompleks.Sebagai seorang sak’li atau pendatang di daerah ini, saya sadar betul bahwasaya penjelajah, pengunjung dan tamu yang harus belajar bahwa terlepas darisegala macam tetek bengek ilmu pengetahuan yang saya pelajari selama ini hingga merantai jauh ke luar negeri, saya hanyalah seorang baru yang belum membuktikanapa - apa dalam bertahan hidup di tempat yang keras ini. Saya bukan apa - apa,bukan siapa - siapa, yang baru saja datang berkunjung sebentar selama sebulan dibandingkan mereka; orang - orang kampung hebat ini, yang hidup selamabergenerasi mencoba bersahabat dengan alam dan dunia roh yang ganas di daerahini. Mereka adalah survivor; orang -orang yang bertahan hidup. Mereka adalah orang - orang yang kuat yang tahubagaimana bertahan hidup.

Saya belajarbanyak dalam universitas kehidupan ini. Saya belajar banyak yang kelak intisaripelajaran ini hendak saya bagi bagi keponakan - keponakan saya di rumah untukmenghargai apa yang mereka miliki saat ini. Saya ingin pulang dan menghargailistrik di rumah yang bisa saya akses dengan harga yang murah. Bandingkandengan saya yang ingin mendapatkan akses listrik selama 4 jam untuk mengetikdan mengisi ulang daya peralatan elektronik dan harus menebus bensin sebanyak 3L (Rp. 45.000).  Saya ingin pulang danmenghargai alat transportasi yang saya punya yang sering saya pakai percuma danjarang saya cuci kalau tidak diributin bapak. Padahal di sini, saya harus naikojek selama 45 menit ke kota dan merogoh Rp. 70-80 ribu/trip. Saya ingin lebihlagi menghargai akses air bersih yang sangat gampang di rumah saya yang cukupbuka keran dan penampung air (profile tank) akan mengalirkan air deras yangcukup untuk bermain hujan - hujanan di halaman rumah. Sedangkan di sini, sayaharus mengangkat air selama 15 menit dari sumber mata air dan dalam sehari bisamengangkat rata - rata 30 - 45 L dengan jeriken plastik 5 L beberapa buah. Sayaingin pulang dan lebih menghargai fasilitas kamar mandi dengan toilet dudukyang bersih, kamar mandi berlantai keramik dengan peralatan mandi super duperlengkap dengan sistem privasi yang terjamin. Karena saya tahu bagaimana harusmencari air untuk urusan kamar mandi, mandi dengan memakai sarung dengan aksesumum dan tidak ada privasi. Saya ingin lebih menghargai apa yang saya miliki.Itu saja!!!

Saya belajar disebuah universitas kehidupan. Saya belajar banyak bahwa selama ini Tuhan menjaga saya dengan baik. Saya belajar bahwa Tuhan-ku begitu baik pada saya dengan kondisi tubuh saya yang tidak terserang malaria sejauh ini, yang tidak mengalami sakit sendi sementara ini dan mengijinkan saya lahir dan hidup ditempat bernama Manokwari dengan akses medis. Saya tidak bisa membayangkan biladengan kondisi sakit seperti 13 tahun lalu yang saya alami dan harus tinggal dikampung ini, karena mungkin saya tidak akan bertahan dan menjadi beban yang lebih berat bagi komunitas. Saya belajar banyak, teman.

Hari ini, sayabelajar bahwa orang - orang di kampung adalah para survivor yang mencintaihutan lebih dari pada saya, yang menghargai dan menganggap hutan sebagai mamamereka. Mereka tahu dan bersahabat dengan alam dan semoga mereka tetapmengingat budi baik hutan. Itulah sebabnya saya di sini, saya ingin merasakanbagaimana alam menyediakan kami makanan, bagaimana alam memberikan kamitantangan hidup dan sensasi adrenalin yang naik - turun, dan bagaimana saya danmasyarakat dapat belajar bersama bahwa ini rumah kami; hutan.

Hari ini saya hanya bisa bilang “Thanx God”, saya jatuh cinta pada pekerjaan saya. Sayabelajar banyak dari universitas kehidupan ini.

Kiranya segala hormat, pujian dan kemuliaan bagi Sang Pencipta. Amen.

(Teminabuan,141013; 10: 33 a.m.)
 @rini irmayasari