Jumat, 20 Desember 2013

Lain Kolam, Lain Cara Mandinya



“Bila ada sumur di ladang, bolehlah kita menumpang mandi. Bila ada umur panjang, bolehlah kita berjumpa lagi.” (Anonim)

“Lain lubuk, lain ikannya.” (Anonim)

Pernah mendengar perumpamaan - perumpamaan di atas? Well, saya dan teman - teman di Bentara Papua selama proses dokumentasi di kampung Sira benar - benar mengalami perumpaan itu dalam arti harafiah alias urusan mandi di kolam ataupun sumur punya karakter mandi yang berbeda apalagi kalau sudah nyangkut di urusan privasi dan kepemilikan. Itu benar - benar perkara gabungan seperti isi roti sandwich yang harus dipikirkan dengan baik. 
Melki bersiap mandi


Urusan mandi di kampung ini bukan perkara yang tampaknya mudah apalagi buat para cewek yang besar di kota dan terbiasa dengan ruang kecil segi empat pakai pintu dengan privasi tingkat tinggi. Di kampung Sira, urusan mandi bisa menjadi sebuah ritual komunal yang menjadi satu ciri budaya. Kala mandi di kampung ini, khususnya di areal bukit paling atas, saya dan teman - teman wajib tahu pada tempat mana kami akan mandi. Ya, karena tiap tempat mandi, baik yang berupa kolam penampung air (yang disebut ‘sumur’), ataupun pada pancuran ataupun aliran kali mempunyai pemilik yang berbasis marga. So, tiap kali kami mandi, kami harus mendahulukan para pemilik sumber air (misalnya di sebuah aliran kali kecil yang pemiliknya tinggal di ibukota kabupaten dan tiap akhir pekan pulang ke kampung, kami tak akan mandi di sana selama ada “kunjungan” pemiliknya hehehe), ataupun bila kami mandi duluan, maka kami usahakan tidak mengotori ataupun membuat keruh airnya. Plus, ada sumber air tertentu yang walau aliran airnya bersih dan lancar tapi jangan coba dipakai mandi kalau tidak mau ditegur orang sekampung, soalnya itu sumber air minum HAHAHA.

Selain urusan kepemilikan, urusan privasi mandi juga menjadi hal baru yang saya dan teman perempuan (Maria) alami. Di areal 3 sumur yang dekat dengan rumah (3-5 menit jalan kaki), kami harus mandi dengan mengenakan pakaian lengkap ataupun dengan sarung dan di jam - jam tertentu. Soalnya, 3 sumur ini dekat banget dengan jalan akses ke areal hutan tempat berburu dan areal kebun. Jadi, bila salah mandi di jam - jam akses (biasanya jam 8 -9 pagi, ataupun jam 5 sore), ya alamat kami bisa jadi ‘pemandangan’ HAHAHA. Kalau perempuan lokal sih di kampung dengan cuek akan mandi di jam mandi dengan hanya berkutang ria dan kadang telanjang dada, tapi saya dan Maria tak punya pilihan lain selain bersarung ataupun berbaju... Soalnya belum terbiasa HAHAHA.

Saking inginnya mandi dengan privasi penuh, saya dan Maria nekat mengikuti jejak dua teman lelaki yang suka mandi di tempat yang agak jauh (7 menit jalan kaki) dengan medan yang lebih terjal TAPI akses privasi bahkan berbugil ria dapat kami jalankan HAHAHA. Nah, tempat ini jarang dipilih karena ya pemiliknya adalah seorang pemuka kampung yang tinggal di ibukota kabupaten plus kemiringan aksesnya. Tempat mandi ini saya dan Maria dapuk sebagai tempat “mandi putri duyung” saking bisa berleha - leha mandi dan mencuci sambil menggosip tanpa harus antri hihihi. Cara kami mandi di sini pun rada unik; kami bergantian mandi sambil memantau lingkungan sekitar, bila ada orang lewat, kami akan memberikan kode bagi pelintas dengan menggunakan teriakan khusus yang kami pelajari. Yang pasti sih bukan a la Tarzan ya hehehe.
 
Maya cuci muka di kolam
Anyway, kadang sekali seminggu, saya dan teman - teman juga mendapat berkat besar tak terkira dari Tuhan untuk urusan mandi dan toilet business. Ya, kiriman hujan deras getho. Kami tinggal di puncak bukit, jadinya kalau hujan deras, “it’s the real gift” dan kami bisa dengan sigap menangkap peluang ini walaupun hujannya turun tengah malam. Di bulan ini, Saya dan Melky (teman cowok) pernah pada sebuah subuh terkaget bangun dan bergegas ke belakang rumah hanya untuk menadah air hujan untuk diisikan ke dalam semua wadah air yang kosong. Urusan sigapnya itu ketahuan kala kami hampir tabrakan di dapur karena spontan bangun kabur dari kamar masing - masing dan bergegas mencari ember. Soalnya saya dan teman - teman tak harus banyak angkat air kalau hujan deras hehehe. Hujan berkat ini bahkan dapat dipakai untuk urusan heboh seperti mandi dan mencuci. Bahkan, beberapa kali, saya dengan cuek bisa mandi dan mencuci di bawah curahan hujan dengan memakai air yang kami tadah ke ember - ember dari talangan sederhana belakang rumah; selembar seng yang dipasangin kaki -segitiga ke rabat rumah.

Pengalaman mandi di kampung ini akhirnya membuat saya berpikir bahwa selama ini saya kurang bersyukur untuk hidup saya. Saya tersadar akhirnya bahwa selama ini saya benar - benar menikmati berkat Tuhan karena mempunyai akses penuh untuk privasi dan akses air yang lancar di rumah saya di Manokwari. Saya belajar banyak, kawan dan saya mengucap syukur atas semua kenikmatan hidup terkait mandi yang selama ini sudah saya rasakan. Ini pelajaran yang indah, kawan, khususnya bila mengingat kalau tiap hari saya dan teman - teman harus mengangkat sekitar 30-45 L air dengan jeriken HAHAHA.


(Ditulis oleh Rini Irmayasari untuk Bentara Papua; Kampung Sira, 231013; 11: 31 p.m.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar