“Bila ada sumur di ladang,
bolehlah kita menumpang mandi. Bila ada umur panjang, bolehlah kita berjumpa
lagi.” (Anonim)
“Lain lubuk, lain ikannya.”
(Anonim)
Pernah mendengar perumpamaan
- perumpamaan di atas? Well, saya dan
teman - teman di Bentara Papua selama proses dokumentasi di kampung Sira benar
- benar mengalami perumpaan itu dalam arti harafiah alias urusan mandi di kolam
ataupun sumur punya karakter mandi yang berbeda apalagi kalau sudah nyangkut di
urusan privasi dan kepemilikan. Itu benar - benar perkara gabungan seperti isi
roti sandwich yang harus dipikirkan dengan baik.
Melki bersiap mandi |
Urusan mandi di kampung ini
bukan perkara yang tampaknya mudah apalagi buat para cewek yang besar di kota
dan terbiasa dengan ruang kecil segi empat pakai pintu dengan privasi tingkat
tinggi. Di kampung Sira, urusan mandi bisa menjadi sebuah ritual komunal yang
menjadi satu ciri budaya. Kala mandi di kampung ini, khususnya di areal bukit
paling atas, saya dan teman - teman wajib tahu pada tempat mana kami akan
mandi. Ya, karena tiap tempat mandi, baik yang berupa kolam penampung air (yang
disebut ‘sumur’), ataupun pada pancuran ataupun aliran kali mempunyai pemilik
yang berbasis marga. So, tiap kali kami mandi, kami harus mendahulukan para
pemilik sumber air (misalnya di sebuah aliran kali kecil yang pemiliknya
tinggal di ibukota kabupaten dan tiap akhir pekan pulang ke kampung, kami tak
akan mandi di sana selama ada “kunjungan” pemiliknya hehehe), ataupun bila kami
mandi duluan, maka kami usahakan tidak mengotori ataupun membuat keruh airnya.
Plus, ada sumber air tertentu yang walau aliran airnya bersih dan lancar tapi
jangan coba dipakai mandi kalau tidak mau ditegur orang sekampung, soalnya itu
sumber air minum HAHAHA.
Selain urusan kepemilikan, urusan
privasi mandi juga menjadi hal baru yang saya dan teman perempuan (Maria)
alami. Di areal 3 sumur yang dekat dengan rumah (3-5 menit jalan kaki), kami
harus mandi dengan mengenakan pakaian lengkap ataupun dengan sarung dan di jam
- jam tertentu. Soalnya, 3 sumur ini dekat banget dengan jalan akses ke areal
hutan tempat berburu dan areal kebun. Jadi, bila salah mandi di jam - jam akses
(biasanya jam 8 -9 pagi, ataupun jam 5 sore), ya alamat kami bisa jadi
‘pemandangan’ HAHAHA. Kalau perempuan lokal sih di kampung dengan cuek akan
mandi di jam mandi dengan hanya berkutang ria dan kadang telanjang dada, tapi
saya dan Maria tak punya pilihan lain selain bersarung ataupun berbaju...
Soalnya belum terbiasa HAHAHA.
Saking inginnya mandi dengan
privasi penuh, saya dan Maria nekat mengikuti jejak dua teman lelaki yang suka
mandi di tempat yang agak jauh (7 menit jalan kaki) dengan medan yang lebih
terjal TAPI akses privasi bahkan berbugil ria dapat kami jalankan HAHAHA. Nah,
tempat ini jarang dipilih karena ya pemiliknya adalah seorang pemuka kampung
yang tinggal di ibukota kabupaten plus kemiringan aksesnya. Tempat mandi ini
saya dan Maria dapuk sebagai tempat “mandi putri duyung” saking bisa berleha -
leha mandi dan mencuci sambil menggosip tanpa harus antri hihihi. Cara kami
mandi di sini pun rada unik; kami bergantian mandi sambil memantau lingkungan
sekitar, bila ada orang lewat, kami akan memberikan kode bagi pelintas dengan
menggunakan teriakan khusus yang kami pelajari. Yang pasti sih bukan a la
Tarzan ya hehehe.
Anyway,
kadang sekali seminggu, saya dan teman - teman juga mendapat berkat besar tak
terkira dari Tuhan untuk urusan mandi dan toilet
business. Ya, kiriman hujan deras getho. Kami tinggal di puncak bukit,
jadinya kalau hujan deras, “it’s the real
gift” dan kami bisa dengan sigap menangkap peluang ini walaupun hujannya
turun tengah malam. Di bulan ini, Saya dan Melky (teman cowok) pernah pada
sebuah subuh terkaget bangun dan bergegas ke belakang rumah hanya untuk menadah
air hujan untuk diisikan ke dalam semua wadah air yang kosong. Urusan sigapnya
itu ketahuan kala kami hampir tabrakan di dapur karena spontan bangun kabur
dari kamar masing - masing dan bergegas mencari ember. Soalnya saya dan teman -
teman tak harus banyak angkat air kalau hujan deras hehehe. Hujan berkat ini
bahkan dapat dipakai untuk urusan heboh seperti mandi dan mencuci. Bahkan,
beberapa kali, saya dengan cuek bisa mandi dan mencuci di bawah curahan hujan
dengan memakai air yang kami tadah ke ember - ember dari talangan sederhana
belakang rumah; selembar seng yang dipasangin kaki -segitiga ke rabat rumah.
Pengalaman mandi di kampung
ini akhirnya membuat saya berpikir bahwa selama ini saya kurang bersyukur untuk
hidup saya. Saya tersadar akhirnya bahwa selama ini saya benar - benar
menikmati berkat Tuhan karena mempunyai akses penuh untuk privasi dan akses air
yang lancar di rumah saya di Manokwari. Saya belajar banyak, kawan dan saya
mengucap syukur atas semua kenikmatan hidup terkait mandi yang selama ini sudah
saya rasakan. Ini pelajaran yang indah, kawan, khususnya bila mengingat kalau
tiap hari saya dan teman - teman harus mengangkat sekitar 30-45 L air dengan
jeriken HAHAHA.
(Ditulis oleh
Rini Irmayasari untuk Bentara Papua; Kampung Sira, 231013; 11: 31 p.m.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar