Minggu, 05 Januari 2014

Drama Lapangan Miring


Kegemaran bermain sepak bola sedang meraja di kampung Sira. Usai dibuatnya lapangan sepak bola yang digagas kanak - kanak berusia SD di kampung ini, terjadi perubahan yang cukup mencolok di dekat rumah tempat tinggal tim Bentara Papua. Beberapa hari pun berlalu dengan semangat para kanak - kanak untuk terus bermain bola di lapangan miring. Suasana kampung yang sunyi ini berubah menjadi ramai namun hanya di atas bukit di bulan Oktober 2013. Keramaian situasi bermain bola memang meriah, namun di sisi lain telah mengganggu beberapa orang pengguna ruang kecil tempat renungan alias MCK yang sering dipergunakan tim BnP. Hal ini karena salah satu tembok dari lapangan ini adalah dinding bagian belakang  MCK.

Seperti permainan bola yang tidak dapat diprediksi berapa banyak ketepatan gol yang dilesatkan, begitu pula ‘drama’ bola di kampung ini. Kegiatan bermain bola terus berjalan hingga pada suatu sore bergabungnya salah seorang anak muda yang juga berasal dari kampung Sira namun umurnya sudah lebih tua dari bocah-bocah tersebut (anak SMP) yang mengubah warna ‘permainan’ bola. Remaja ini suka bermain bola dan ngefans sama Boas/persipura dan ingin bergabung dan bermain dengan anak - anak SD di lapangan miring.


Beberapa sore berjalan dengan baik, dan si remaja ini diterima dan ikut bermain bersama. Namun, untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, kapten “Manu” mengalami cedera pada pergelangan kaki  akibat sebuah tendangan keras dari Si remaja yang baru saja bergabung dengan mereka. Setelah Manu mengalami cedera di sore itu, maka suasana pun menjadi berubah seketika. Satu  per satu kanak - kanak mulai meninggalkan lapangan miring. Sore itu, sang kapten Manu belum merasakan sakit yang berlebihan pada kakinya hingga pada malam hari ia beristirahat. Akan tetapi,  pada pagi harinya ketika ia mulai bangun tidur, barulah ia merasakan kakinya telah bengkak dan tidak bisa diluruskan. Pagi itu dia ingin pergi untuk bersekolah namun tidak bisa berjalan sehingga hanya dapat duduk di satu tempat tanpa bisa berpindah.

Manu yang mengalami cedera hampir tidak mempunyai akses medis yang tersedia dengan cepat. Akses ke kota sangat jauh sehingga pengobatan yang dilakukan hanya bersifat tradisional. Pengobatan tradisional terus dilakukan selama beberapa hari, namun kakinya tak kunjung sembuh hingga keesokan harinya ‘bapa tua’nya (kakak dari bapaknya) yang sedang berkunjung ke kampung mendapati kondisinya yang kesakitan sehingga dia pun diantar ke kota untuk berobat. Pada hari pertama pengobatan, Manu hanya disuntik dan diberi obat minum (oral), namun kakinya semakin bertambah bengkak dan sakit. Maka keesokan harinya, kaki si Manu harus mengalami pembedahan minor (dibelah) untuk mengeluarkan gumpalan darah kotor yang berada di dalamnya. Terhitung genap dua minggu sang ‘kapten’ Manu harus menjalani perawatan hingga kakinya benar-benar sembuh.

Hikmah yang dapat dilihat dari kisah ini adalah memang bermain bola bukanlah permainan yang minim cedera, namun bila kelompok umur diberlakukan maka hal seperti ini dapat dihindari. Cedera Manu membuat stadion ‘Lapangan Miring’ Kampung Sira pun menjadi sunyi dan tidak ada aktifitas bermain bola di sana.

(Ditulis oleh Melkias Sanyar untuk Bentara Papua; November 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar