Kegemaran bermain sepak bola sedang meraja di kampung Sira. Usai
dibuatnya lapangan sepak bola yang digagas kanak - kanak berusia SD di kampung
ini, terjadi perubahan yang cukup mencolok di dekat rumah tempat tinggal tim
Bentara Papua. Beberapa hari pun berlalu dengan semangat para kanak - kanak untuk terus bermain bola di
lapangan miring. Suasana
kampung yang sunyi ini berubah menjadi ramai namun hanya di atas bukit di bulan Oktober 2013. Keramaian
situasi bermain bola memang meriah, namun di sisi lain telah mengganggu beberapa orang pengguna ruang
kecil tempat renungan alias MCK yang sering
dipergunakan tim BnP. Hal ini karena salah satu tembok dari lapangan ini adalah dinding bagian belakang MCK.
Seperti permainan bola yang tidak dapat diprediksi berapa banyak
ketepatan gol yang dilesatkan, begitu pula ‘drama’ bola di kampung ini. Kegiatan
bermain bola terus berjalan hingga pada
suatu sore bergabungnya salah
seorang anak muda yang juga berasal dari kampung Sira namun umurnya sudah lebih
tua dari bocah-bocah tersebut (anak SMP) yang mengubah warna ‘permainan’ bola. Remaja ini suka
bermain bola dan ngefans sama Boas/persipura dan ingin
bergabung dan bermain dengan anak - anak SD di
lapangan miring.
Beberapa sore berjalan dengan baik, dan si remaja ini
diterima dan ikut bermain bersama. Namun, untung
tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak, kapten “Manu”
mengalami cedera pada pergelangan kaki akibat sebuah tendangan keras dari Si remaja yang baru saja bergabung dengan mereka. Setelah
Manu mengalami cedera di sore itu,
maka suasana pun menjadi berubah seketika. Satu per satu kanak -
kanak mulai meninggalkan lapangan
miring. Sore itu, sang kapten
Manu belum merasakan sakit yang berlebihan pada kakinya hingga pada malam hari
ia beristirahat. Akan tetapi, pada pagi harinya ketika ia mulai bangun tidur, barulah ia merasakan kakinya telah bengkak dan tidak
bisa diluruskan. Pagi itu dia
ingin pergi untuk bersekolah namun tidak
bisa berjalan sehingga hanya dapat duduk
di satu tempat tanpa bisa berpindah.
Manu yang mengalami cedera hampir tidak mempunyai akses medis yang
tersedia dengan cepat. Akses ke kota sangat jauh sehingga pengobatan
yang dilakukan hanya bersifat tradisional. Pengobatan tradisional terus
dilakukan selama beberapa hari,
namun kakinya tak kunjung sembuh hingga keesokan harinya ‘bapa tua’nya (kakak dari bapaknya) yang sedang berkunjung ke kampung mendapati kondisinya yang
kesakitan sehingga dia pun
diantar ke kota untuk berobat. Pada hari
pertama pengobatan, Manu hanya
disuntik dan diberi obat minum (oral),
namun kakinya semakin bertambah bengkak dan sakit. Maka keesokan harinya,
kaki si Manu harus mengalami pembedahan minor (dibelah) untuk mengeluarkan
gumpalan darah kotor yang berada di dalamnya.
Terhitung genap dua minggu sang ‘kapten’ Manu harus menjalani perawatan hingga kakinya benar-benar sembuh.
Hikmah yang dapat dilihat dari kisah ini adalah memang bermain bola
bukanlah permainan yang minim cedera, namun bila kelompok umur diberlakukan
maka hal seperti ini dapat dihindari. Cedera Manu membuat stadion ‘Lapangan
Miring’ Kampung Sira pun menjadi sunyi dan tidak ada
aktifitas bermain bola di sana.
(Ditulis oleh Melkias Sanyar untuk Bentara Papua;
November 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar