Tempat Keramat Sebagai Pengontrol Kerusakan Lingkungan

oleh: Melkias Sanyar

Tempat keramat bisa membatu proses konservasi lingkungan dan budaya, bagaiman bisa?. Dalam tulisan ini, saya ingin bercerita tentang daerah keramat yang berfungsi sebagai control kerusakan lingkungan yaitu di kampung Yaur dan Kwatisore.

Perjalanan saya  kali ini merupakan perjalanan  yang   kedua di Teluk Cenderawasi Papua tepatnya di Kabupaten Nabire setelah 22 tahun kunjungan pertama saya. Perjalanan saya ke Nabire kali ini bersama dengan kedua teman Bentara Papua, Maria dan Bram yang melaksanakan  program belajar bersama di kampung. Lokasi yang kami pilih untuk belajar bersama masyarakat adalah kampung Yaur dan Kwatisore distrik Yaur kabupaten Nabire. Kedua tempat ini masuk dalam daerah konservasi  Taman Nasional Teluk Cenderawasi dan juga tempat yang pertama kali saya kunjungi.

Waktu tempuh dari kota Nabire ke kampung Yaur sekitar sekitar 3 jam. Jika  lautan sedang teduh bisa lebih cepat. Sedangkan ke kampung Kwatisore sendiri bisa ditempuh dalam waktu 2 Jam dengan mesin motor laut 40PK 2 buah.

Saat perjalanan menuju kampung Yaur, saya melihat dari jauh bentangan gunung yang tinggi dengan pohon-pohon yang masih utuh menyelimuti gunung tersebut dan lama-kelamahan nampak perumahan yang terletak persis di kaki gunung tersebut. Kata pembantu driver yang mengantar kami, kalau itu adalah kampung Yaur. Perjalanan yang sangat jauh, namun terasa dekat karena suasana alam yang memanjakan mata. Terlihat hamparan bukit-bukit kecil yang berjejer di sepanjang perjalanan kami dan ikan-ikan yang melompat di pinggiran pepohonan mangrove.

Saat saya dan kedua teman tiba di kampung Yaur, saya kaget dengan pembangunan yang berlansung di kampung itu karena walaupun akses dari kota Nabire ke kampung itu jauh namun pembangunan perumahaan dan fasilitas umum bisa dikatakan lengkap. Walaupun pembangunannya sangat pesat, tetapi kampung ini terlihat sunyi karena saya melihat di kampung itu kurang penduduknya. Saat kami bertemu dan diskusi dengan beberapa masyarakat kampung terkait penghidupan di Kampung itu, barulah saya tahu kalau kebanyakan masyarakat ada di kota Nabire, sehingga kampung itu terlihat jarang penduduknya. Hal ini dikarenakan jarak dan akses yang susah sehingga banyak masyarakat yang berpergian ke kota dan tidak bisa cepat pulang ke kampung tersebut.

Beberapa hari  saya dan kedua teman dari Bentara Papua belajar bersama dengan masyarakat di kampung Yaur,  saya mendengar cerita dari beberapa tua adat di kampung itu kalau di belakang kampung Yaur terdapat sebuah tempat keramat. Tempat keramat ini menjadi tempat yang tidak bisa didatangi oleh banyak orang dan yang bisa datang  ke tempat itu hanya orang-orang tertentu yang merupakan tua adat atau keturunan  dari peninggalan tempat keramat itu.

Setelah kegiatan  belajar bersama yang kami lakukan di kampung Yaur selesai, kami pun berpindah dari kampung Yaur ke kampung Kwatisore dengan jarak yang lumayan jauh atau setengah dari jarak antara kota Nabire dengan kampung Yaur. Saat kami ingin melakukan perjalanan ke kampung Kwatisore, banyak masyarakat kampung Yaur yang mengantar kami ke tempat dimana speedboat yang kami pakai berlabuh atau tepatnya di depan kampung Yaur. Kami pun berangkat ke Kwatisore dengan aman karena cuaca  dan air laut yang tenang sehingga kami sampai di Kwatisore dengan waktu yang tidak begitu lama. Setelah tiba di Kwatisore, kami melapor pada kepala kampung dengan menunjukan surat izin masuk kawasan konservasi yang diberikan oleh Balai Taman Nasional Teluk Tenderawasi.

Keesokan harinya kami berdiri di dermaga Kwatisore dan melihat ke atas gunung di belakang kampung Kwatisore, ternyata di atas gunung tersebut terdapat batu yang sangat besar. Menurut cerita beberapa orang tua di kampung Kwatisore bahwa batu itu adalah tempat keramat yang bernama Akudiomi. Batu Akudiomi sendiri   merupakan tempat keramat yang secara turun temurun menyimpan  sejarah keramat seorang nenek yang melintasi gunung itu dan membawa batu tersebut namun, nenek tersebut jatuh lalu mati di tempat tersebut sehingga batu tersebut tumbuh dan menjadi batu yang sangat besar. Tempat keramat ini tidak bisa didatangi sembarangan oleh orang-orang dari luar. Jika ada yang ingin pergi ke tempat tersebut,  harus melalui beberapa orang yang berdiam di kampung ini. Jika kita ingin pergi ke tempat keramat ini maka ada beberapa hal yang harus dilakukan seperti membawa daun dan ranting kayu untuk diletakan diatas batu tersebut. Ketika kita sampai di tempat keramat ini pun tidak boleh menebang pohon sembarangan atau merusak semua tumbuhan yang ada disekitanya.

Dari kedua tempat keramat ini, saya juga bandingkan dengan beberapa tempat keramat di tempat lain seperti di Sorong Selatan dan juga di Raja Ampat yang juga sama larangannya untuk mengakses tempat-tempat keramat tersebut. Walaupun larangan pada tempat keramat tersebut tidak tertulis dalam sebuah buku, namun  sangat kuat larangannya sehingga itu bermanfaat bagi perlindungan budaya maupun keselamatan lingkungan dari kerusakan  yang terjadi  secara langsung maupun tidak langsung dari banyak orang.